Info KG

>

#CumadiKG

#CumadiKG

Setelah Pak JO Pergi (oleh Y. Priyo Utomo) - Bagian 3

AGATHA TRISTANTI

Corporate Branding Analyst - Dipublikasikan

 

Memimpin dengan Bertanya

Salah satu ciri kekuasaan (kekuasaan apa pun) adalah bisa mengubah sifat---mengubah orang yang jujur menjadi korup, menjadikan orang yang serakah menjadi lebih serakah, orang yang otoriter menjadi lebih otoriter. Ini terjadi karena semakin tinggi posisi seseorang, kemungkinan semakin sedikit mendapatkan umpan balik yang jujur dan apa adanya. Realitas yang sebenarnya sering tidak dikatakan, hal-hal yang tidak menyenangkan kadang disembunyikan dan tidak disampaikan. Bagaimana orang bisa menghimpun dan memegang kekuasaan tetapi tidak dibuat korup oleh kekuasaan tersebut?

Salah satu cara gaya kepemimpinan Pak JO adalah: tidak hanya mendengarkan info atau laporan resmi, tetapi mendengarkan dan menyerap dengan bertanya pada sebanyak mungkin orang. Itu bias direktur, sopir, office boy, pemred, orang keuangan, editor, atau karyawan level apa pun. Bisa dengan cara dipanggil ke ruangannya, bias telepon, bisa bertanya langsung. Dia memberlakukan ruangan kerjanya di lantai 6 Palmerah Selatan dengan kebijakan pintu terbuka dan menjadikan dirinya bisa mengakses dan diakses oleh siapa pun. Dengan begitu, Pak JO mempunyai gambaran yang lengkap tentang apa yang terjadi. Kebijakan dan keputusan yang dikeluarkan—baik itu yang menyangkut arah perusahaan, remunerasi karyawan, kebijakan redaksi atau bisnis, atau kebijakan penting lain—merupakan representasi komprehensif dari berbagai perspektif dan sudut pandang.

Betul, kepemimpinan adalah soal visi. Pemimpin melihat apa yang tidak dilihat oleh banyak orang. Namun, kepemimpinan juga soal iklim di mana kebenaran terdengar dan fakta-fakta keras dikonfrontasi. Ada paradoks di sini: demi mengejar jawaban dan keputusan terbaik diperlukan debat, argumentasi, “konflik” di satu sisi; di sisi lain, begitu keputusan sudah dibuat, kita mesti bersatu, terlepas dari kepentingan sempit.

Dalam praktik sehari-hari, rapat-rapat misalnya, Pak JO biasanya lebih sering mempersilakan semua orang berbicara dan mengemukakan pendapat. Dia lebih banyak mencatat dan mendengarkan, alih-alih mendominasi pembicaraan. Sesekali saja dia mengajukan pertanyaan. Dan pertanyaan yang diajukan lebih untuk mendapatkan pemahaman, bukan pertanyaan sebagai bentuk manipulasi atau sebagai cara untuk menyalahkan atau merendahkan orang lain. Berkomunikasi bukanlah soal berbicara, tapi soal mendengarkan. Dengan begitu, orang merasa dihargai, diwongke.

Kita tahu, organisasi dan perusahaan akan menghasilkan kinerja terbaik jika anggota dan pemimpin saling menghormati, menghargai, memercayai dan mendahulukan tujuan tim dan perusahaan daripada kepentingan diri yang sempit. Individu akan menghasilkan kinerja terbaik jika mereka dihargai dan dipercaya oleh seseorang yang dengan tulus memperhatikan kesejahteraan mereka. Karena itu, seorang pemimpin harus membebaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan, prasangka-prasangka, preferensi-preferensi tertentu dan membebaskan diri dari sikap “saya tahu semuanya” atau “selama ini kita selalu menempuh cara ini”. Model kepemimpinan ini dianggap lebih efektif dibanding kepemimpinan “dari atas ke bawah”.

Menurut Chris Lowney, dalam Heroic Leadership, stereotip kepemimpinan “top down”, langsung, bukanlah solusi, melainkan problem itu sendiri. Jika pemimpin hanyalah mereka yang berposisi mengarahkan kelompok besar, semua yang lain hanyalah menjadi pengikut. Dan mereka yang berlabel pengikut akan bertindak sebagaimana pengikut, tenaga mereka diperas, dan akan saling sikut untuk berebut menjadi pemimpin. Kepemimpinan model ini juga mengingkari sebuah alasan sederhana, bahwa setiap orang itu mempunyai pengaruh, dan setiap orang memproyeksikan pengaruh—baik atau jelek, besar atau kecil—sepanjang waktu.

Dari Pak JO, kita juga belajar bahwa “memimpin” itu tidaklah sama dengan “menjadi pemimpin”. Menjadi pemimpin berarti seseorang memegang jabatan tertinggi, bisa karena upaya sendiri, keberuntungan, atau siasat politik kantor. Sedangkan memimpin berarti orang lain bersedia mengikuti kita, bukan karena mereka dibayar, bukan karena wajib, tetapi karena mereka ingin melakukannya. Orang yang mengikuti percaya bahwa keputusan yang dibuat di tingkat atas adalah demi kepentingan terbaik kelompok. Orang-orang yang percaya ini bersedia bekerja keras karena merasa apa yang dikerjakan adalah untuk sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri.

Menurut Simon Sinek, peran seorang pemimpin bukanlah memunculkan semua ide besar. Peran pemimpin adalah menciptakan suatu iklim di mana ide-ide besar bisa terjadi. Dan orang-orang yang berada di garis depanlah yang paling tahu menemukan cara-cara baru. Orang yang sehari-hari menjawab telepon dan bicara dengan pelanggan, misalnya, adalah orang yang paling mengetahui jenis pertanyaan yang mereka dapatkan dibanding seseorang yang duduk di kantor eksekutif mewah nan dingin ber-AC.

Seperti dirumuskan Stephen Covey (The 7 Habits of Highly Effective People), kepemimpinan adalah mengomunikasikan nilai dan potensi orang lain dengan jelas sehingga mereka terinspirasi untuk melihatnya dalam diri mereka sendiri. Dan pemimpin yang hebat adalah yang bisa menempatkan orang-orang terbaik pada peluang-peluang terbaik mereka, bukan pada masalah terbesar mereka. Dalam buku The 8th Habit, pemimpin adalah orang yang telah menemukan his/her voice an calling, dan menginspirasi dan mendorong orang lain menemukan their voice and calling. Di sini terdapat satu kebenaran sederhana: orang yang tepat akan melakukan hal yang benar dan memberikan hasil-hasil terbaik mereka, terlepas dari sistem insentifnya. Strategi yang sama, orang yang berbeda, hasilnya berbeda!

Pola kepemimpinan Pak JO yang lain, saya temukan dengan pas dalam Good to Great: metafora jendela dan cermin. Saat keadaan dan performa perusahaan berjalan baik, dia menunjuk ke luar jendela (berkat kemurahan Tuhan, nasib baik, kerja keras karyawan, pelanggan, dan faktor eksternal lain) untuk memberikan penghargaan atas kesuksesan perusahaan. Dan ketika keadaan tidak berjalan mulus, performa turun misalnya, dia melihat ke cermin, bukan keluar jendela, tidak pernah menyalahkan orang lain, faktor eksternal, atau nasib buruk.

 

Jakarta, 18 Desember 2020

Y. Priyo Utomo

CEO Group of Retail and Publishing

(100 Hari Mengenang sang Guru, Jakob Oetama)