Info KG

>

#CumadiKG

#CumadiKG

Setelah Pak JO Pergi (oleh Y. Priyo Utomo) - Bagian 4

AGATHA TRISTANTI

Corporate Branding Analyst - Dipublikasikan

 

Mengapa KG Ada?

Hampir semua perusahaan dimulai dari cara yang sama: dari sebuah ide. Gagasan. Sebagian besar dimulai oleh satu dua orang atau sekelompok kecil yang memiliki gagasan yang sama. Mereka memulai dari kecil. Mereka tidak memulai dengan akuisisi atau menjadi besar dalam sekejap. Astra begitu. Begitu juga Kalbe, Garuda Food, Salim Grup, BCA, Sinar Mas, CTCorp, Gojek, Shopee, Tokopedia. Begitu pula Microsoft, Apple, WalMart dan hampir semua perusahaan yang telah menjadi besar. Tak terkecuali Kompas Gramedia (KG).

Intisari lahir dari sebuah pertanyaan: Apa yang bisa dibuat untuk meluaskan cakrawala pembaca? Muncullah sebuah gagasan sederhana tapi kreatif: Menerbitkan sebuah majalah yang isinya menerobos isolasi. Saat itu, tahun 1960-an, pembaca Indonesia terkucil karena majalah luar negeri tidak boleh masuk. Seperti dikisahkan oleh Helen Iswara dalam PK Ojong: Hidup sederhana, Berpikir Mulia, ide, konsep, perizinan, segala persiapan sampai eksekusi dilakukan hanya oleh dua orang: PK Ojong dan Jakob Oetama. Dua-duanya mantan guru. Dua-duanya pemimpin redaksi: Ojong mantan pemred Star Weekly, Jakob Oetama pemred majalah Penabur. Dua-duanya pengurus ISKA. Setelah segala sesuatu direncanakan dengan cermat, teliti, tidak setengah-setengah, Intisari terbit 17 Agustus 1963.

Ketika Intisari mulai merangkak dan belajar melangkah, muncul gagasan lain yang juga sederhana tapi kreatif: menerbitkan koran harian. Sebuah gagasan yang, seperti ditulis Frans Seda (Kompas 28 Juni 1990) datang dari Jenderal Ahmad Yani: tentang perlunya menerbitkan suatu harian untuk mengimbangi PKI dan kawan-kawannya. Sifat harian: independen, berpegang pada kebenaran, kecermatan sesuai profesi dan moral pemberitaan. Kompas terbit pertama kali pada 28 Juni 1965. Dengan segala kekurangan, jatuh bangun, suka dukanya, hanya dalam enam tahun Kompas, sebagai adik Intisari, telah menjadi koran terbesar di Indonesia. Seperti ditulis oleh PK Ojong, seperti sering terjadi, adik bisa lebih besar dan lebih gemuk daripada kakaknya.

KG, seperti semua orang tahu, akhirnya berkembang ke berbagai lini dan pilar: media, manufaktur, retail and publishing, hotel, lembaga pendidikan (UMN), bahkan properti dan tol. Dalam tulisannya “Sifat-sifat Perusahaan Kita”, yang kemudian dianggap sebagai falsafah perusahaan KG, PK Ojong menguraikan bahwa “para pendiri Kompas dan Intisari berasal dari kelompok guru, pegawai negeri, wartawan, yakni kalangan yang tak bermodal dan maka itu tidak termasuk golongan ekonomi kuat. Mereka sadar, untuk melaksanakan cita-cita untuk berkecimpung di bidang penerbitan mejalah dan harian, individu-individu itu harus bergabung dan bersatu dalam suatu perusahaan kolektif.”

Yang menarik, dia juga menekankan, bahwa laba adalah tujuan sampingan. Akibat, bukan tujuan. Uang penting, tapi tidak cukup membuat orang terinspirasi untuk bekerja. Mencerdaskan bangsa, atau pencerahan, akhirnya dirumuskan sebagai visi atau isu perjuangan KG. Gagasan tentang pendirian sang pemula, Intisari, dan kemudian Kompas, nampak jelas dibakar oleh passion—suatu dorongan yang membuat mereka melakukan hal-hal yang tidak rasional. Passion itulah yang menggerakkan orang untuk melakukan pengorbanan agar sebuah isu perjuangan bisa diwujudkan.

Terinspirasi oleh visi pendiri, PK Ojong dan Jakob Oetama, para karyawan awal menunjukkan perilaku pelopor yang klasik. Josephus Adisubrata (Pak Adi), sarjana filsafat dan sastra klasik Yunani dari Universitas Leuven Belgia, teman sekolah JO di Seminari, adalah orang pertama yang dipanggil. Pak Adi melepaskan tawaran pekerjaan di Caltex Rumbai dengan gaji dua kali lipat plus rumah dinas dengan segala perlengkapannya dan memilih bergabung di perusahaan yang secara statistik kemungkinan gagalnya lebih besar daripada suksesnya. Hwat Nio (dikenal kemudian sebagai Irawati dan kelak menjadi pemred), sejarawan hukum Universitas Indonesia, adalah orang kedua yang melepaskan tawaran menjadi asisten dosen seorang ahli hukum terkenal dan memilih bergabung di majalah yang baru itu. Hwat Nio masuk bekerja tanpa digaji karena perusahaan belum mampu memberi gaji. Polycarpus Swantoro (Pak Swan), meninggalkan Yogya dan bergabung di Kompas. Pak Swan, yang meninggalkan profesi dosen sejarah pada tahun 1966 dan kemudian jadi Wapemred Kompas itu, yang waktu itu sudah punya dua anak, hidup sederhana dengan gaji yang tak pernah cukup sampai akhir bulan.

Tapi statistik tidaklah penting. Passion dan optimisme sedang tinggi-tingginya. Seperti semua perintis, perilaku mereka dan beberapa karyawan yang bergabung pada saat awal lebih banyak bicara tentang isu perjuangan daripada diri sendiri. Mereka adalah orang-orang yang mau mengambil risiko. Orang-orang yang menerabas batas, yang melakukan hal-hal yang tidak dilakukan orang lain. Kisah inspiratif tentang tukang batu ini menggambarkan spirit para perintis KG:

Ada dua tukang batu yang sedang mengerjakan sebuah proyek yang sama. Ketika kita Tanya pada tukang batu pertama, “Apa kamu senang dengan apa yang sedang kamu kerjakan?” Dia menoleh dan menjawab, “Saya sudah lama sekali membangun tembok ini. Pekerjaan ini monoton. Saya bekerja di tengah terik matahari sepanjang hari. Setiap hari saya harus mengangkat batu-batu yang berat, dan membuat punggung saya sakit. Saya tidak yakin apakah proyek ini selesai dalam masa hidup saya. Tetapi, apa boleh buat, ini adalah pekerjaan yang bisa saya lakukan. Pekerjaan inilah yang membiayai hidup saya dan keluarga saya.”

Pada tukang batu kedua, yang bekerja tak jauh dari tukang batu pertama, kita mengajukan pertanyaan yang sama, “Apa kamu senang dengan pekerjaanmu?” Dia menjawab, “Saya mencintai pekerjaan saya. Saya sedang membangun sebuah katedral. Sudah lama sekali saya membangun tembok ini, dan kadang pekerjaan ini terasa monoton. Tiap hari saya harus mengangkat batu-batu yang berat ini dan kadang membuat punggung saya sakit. Saya tidak yakin apakah proyek ini selesai dalam masa hidup saya. Tetapi saya tahu bahwa saya sedang membangun sebuah katedral.”

Mengutip Simon Sinek, dalam bukunya yang menarik Start With Why, APA yang dikerjakan kedua tukang batu itu sama persis. Bedanya adalah pada MENGAPA-nya. Tukang batu kedua merasa memiliki tujuan dan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari pekerjaan yang sedang dia lakukan. Tukang batu pertama mungkin akan pindah ke pekerjaan lain kalau diiming-imingi gaji yang lebih besar, sementara tukang batu kedua akan tetap bertahan demi menjadi bagian dari isu perjuangan yang lebih mulia. Tukang batu kedua memandang dirinya tidak lebih rendah dari tukang lainnya, katakanlah tukang kayu, tukang kaca, bahkan dengan sang arsitek. Mereka saling membutuhkan. Ikatan ini yang menciptakan kepercayaan dan solidaritas. Mereka bekerja bersama untuk satu tujuan bersama. Bersama sama mereka membangun sebuah katedral.

Salah satu ciri pemimpin hebat adalah mereka punya kemampuan menemukan orang yang cocok untuk bergabung dengan organisasinya—orang-orang yang percaya pada apa yang mereka percayai. Seperti dikatakan Pak Ojong dan Pak JO, “Kita mempekerjakan sikap, bukan ketrampilan. Orang-orang yang cocok dengan budaya kita. Setelah itu barulah ketrampilan dan pengalaman diperhitungkan.” Ya, mereka tidak bekerja untuk membangun tembok. Mereka bekerja untuk membangun katedral.

 

Jakarta, 18 Desember 2020

Y. Priyo Utomo

CEO Group of Retail and Publishing

(100 Hari Mengenang sang Guru, Jakob Oetama)