Info KG

>

#CumadiKG

#CumadiKG

Setelah Pak JO Pergi (oleh Y. Priyo Utomo) - Bagian 2

AGATHA TRISTANTI

Corporate Branding Analyst - Dipublikasikan

 

Energi Spiritual: Ibu dan Romo Sandjaja

Karakter dibangun tidak hanya melalui kesulitan dan penderitaan, tetapi juga dibangun dengan manis melalui cinta dan kegembiraan. Pergumulan melawan kelemahan diri tidak pernah menjadi pergumulan seorang diri. Kemauan dan tekad tidaklah cukup memadai untuk terus-menerus menaklukkan keegoisan, keangkuhan, keserakahan, dan penipuan diri. Kita butuh orang lain untuk mendukung, membangkitkan, mendorong, dan memberi tahu ketika kita salah.

Dalam hal Pak JO, Margaretha Kartonah Brotosoesiswo-lah sumber kekuatan itu. Ia begitu mencintai Ibunya, gemati. Dan Ibunya juga amat mencintainya. Ibu yang amat sederhana, tinggal di rumah sederhana, tak jauh dari Jembatan Kali Sempor Sleman. Pak JO sempat membeli tanah yang lebih luas di Mlati, (sekarang dikenal sebagai Joglo Mlati). Berharap Ibu mau pindah ke tempat yang lebih layak. Tapi Ibu bertahan, telanjur betah dan krasan, bertetangga dengan Mbok Marto yang juga sederhana, yang saling menjaga hingga akhir hayat.

Tiap kali, sering tanpa rencana, Pak JO pulang. Menemui Ibu. Berbincang ngalor ngidul. Kadang Pak JO yang bicara, Ibu diam mendengarkan. Kadang Ibu yang bicara, Pak JO mendengarkan. Dari perkara permintaan perlu kursi, lemari, atau tempat tidur yang layak, kabar tentang saudara, adik-adik, keponakan-keponakannya yang perlu bantuan supaya tetap bisa sekolah, sampai anak tetangga yang rajin-pintar tapi nganggur dan butuh pekerjaan. Ibu-lah juru bicara dan penyambung lidah segala perkara.

Setiap pamit mau pulang ke Jakarta, sambil memeluk, selalu kalimat ini yang terucap, “Dongake yo, Bu.” Dan sambil mengangguk, tersenyum, selalu ini respons Ibunya, “Yo, tentu, aku ndonga pendak dino. Ojo kuatir.” Bagi Pak JO, Ibu Margaretha Kartonah-lah, sumur spiritual yang tak pernah kering dalam menjalani peziarahan hidupnya.

Sementara ayahnya, R. Sandiwan Brotosoesiswo, adalah guru honorer yang harus sering pindah-pindah tempat mengajar. Setelah pensiun, Sandiwan Broto melakoni profesi sebagai tukang cukur, dengan menyewa tempat di dekat jembatan Sungai Bedog Sleman. Tiap hari, dia membawa tas besar, seperti koper, dari rumah ke tempat cukurannya. Ayahnya seperti ingin mengajarkan, selama masih kuat, manusia itu harus bekerja. Dan semua pekerjaan adalah berharga. Tidak perlu malu. Harkat manusia tidak ditentukan oleh pilihan profesinya.

Meski sulit, karena penghasilan sebagai tukang cukur yang tidak menentu, dia seperti mengajarkan pada kita untuk: jangan gampang menyerah. Kelak, pilihan profesi sebagai tukang cukur ini lebih sering diceritakan dengan bangga oleh anak-cucunya. Seperti disampaikan Freud: Suatu hari, ketika kita mengingat masa lalu, tahun-tahun yang penuh jerih payah akan berubah menjadi tahun-tahun yang paling indah.

Sandiwan Brotosoesiswo adalah tetua sekaligus ketua Paguyuban Kliwonan Desa Beteng, Tridadi, Sleman. Setiap Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon warga lelaki berkumpul, bergiliran, membicarakan berbagai soal dan perkara. Lintas agama, lintas suku. Berbagai latar belakang sosial dan ekonomi. Sandiwan senang dan kuat bicara berjam-jam. Tak pernah kehabisan bahan. Pengetahuannya luas. Hobinya membaca. Salah satu bacaannya adalah Praba, majalah berbahasa Jawa. Selain itu, ada kiriman gratis koran Kompas. Mungkin karena gratis, pengirimannya tidak setiap hari. Bisa empat hari sekali, seminggu, atau bahkan lebih. Sekali kirim beberapa edisi sekaligus. Unik, atau tepatnya lucu, setiap terima kiriman Kompas, bacanya beberapa edisi sekaligus. Seperti baca kliping.

Sejauh ingatan saya, setiap memegang dan membaca Kompas, nampak wajah bangga Sandiwan Brotosoesiswo. Dia sungguh tidak membayangkan dan menyangka, koran terbesar dan berpengaruh itu buah karya anaknya. Uniknya, kebanggaan ini tidak pernah sekalipun dinyatakan dan disampaikan secara langsung pada Pak JO. Lebih sering diceritakan kepada tetangga sekitar atau cucu-cucunya.

Sikap toleran, penghormatan terhadap sesama, penghayatan terhadap pluralitas—dan bagaimana Pak JO memandang Indonesia dan keindonesiaan—ini, agaknya warisan dan turunan ayahnya. Termasuk kemampuan bicara. Pidato. Orasi. Kemampuan berbicara dan menyampaikan pendapat makin diasah di Seminari. Setiap Minggu sore, di asrama rutin diselenggarakan Sidang Akademi. Dalam forum semacam talkshow itu, di depan seluruh siswa dan pamong, secara bergiliran, setiap siswa harus tampil dan menyampaikan pendapat tentang berbagai soal dan tema. Di Sidang Akademi itu setiap siswa dilatih kepercayaan diri mereka untuk tampil di depan umum. Berdebat, berdiskusi, dan berargumentasi.

Sebagai seorang yang sesungguhnya pemalu dan canggung, seperti diakuinya sendiri, Pak JO merasa tidak cocok dengan stereotip sebuah korporasi besar dan berpengaruh. Mengingat asal-usulnya, dia masih sering kaget dan tak percaya dengan pencapaiannya. Mungkin karena itu, sepanjang hidupnya, ucapan syukur tak henti-hentinya ia ucapkan. Dia bukan pembicara yang meledak-ledak, dan jarang sekali menyelipkan humor. Tetapi ketika bicara, orang-orang diam mendengarkan. Mereka menyimak setiap kata-katanya. Para karyawan yang mendengarnya menyerap apa yang dia katakan dan membawa kata-katanya dalam pekerjaan mereka. Tidak sekadar memotivasi. Kata-katanya menginspirasi.

Kita tahu, energi memotivasi, sedangkan karisma menginspirasi. Energi bisa dilihat dan diukur. Karisma sukar dirumuskan dan diukur apalagi ditiru, tapi bisa dirasakan. Energi datang dari secangkir kopi atau reward and punishment: bonus, promosi, hadiah, atau insentif. Karisma datang dari kejelasan tentang Mengapa: suatu keyakinan yang tidak pernah pudar pada suatu tujuan atau isu perjuangan yang lebih besar daripada dirinya sendiri.

Yang menginspirasi kita bukanlah sekadar kecintaan Pak JO pada koran, media, atau buku, tetapi optimismenya yang tak pernah pudar tentang masa depan Indonesia. Dia percaya, melalui KG dan karya-karyanya, orang Indonesia bisa tercerahkan, enlightened, produktif, dan mencapai potensi terbesarnya. Pak JO percaya, kalau ingin maju, Indonesia tidak cukup hanya dengan membangun infrastruktur fisik seperti jembatan, gedung-gedung, bendungan, atau jalan tol. Indonesia akan maju kalau juga membangun manusianya, dan itu hanya bisa diraih lewat infrastruktur peradaban: menyediakan referensi dan bahan-bahan bacaan bermutu, media informasi yang bisa dipercaya, meningkatkan literasi, memperbanyak perpustakaan, dan menyiapkan pendidikan terbaik bagi warganya.

Universitas Multimedia Nusantara (UMN) adalah wujud konkret lain inklinasi Pak JO. Dreams come true. Melalui pendidikan yang baik, dia ingin, anak-anak muda Indonesia begitu bangun pagi mempunyai harapan dan perasaan optimis bahwa mereka bisa mencapai impian mereka. Dia ingin, anak anak muda, laki-laki dan perempuan, percaya bahwa ada peluang dan harapan bagi masa depan mereka. Dan itu hanya bisa dicapai melalui lembaga dan jalan pendidikan. Pendidikan yang bukan sekadar menawarkan status sosial, tetapi yang bisa menyiapkan masa depan anak muda.

Figur lain yang amat berpengaruh bagi kehidupan Pak JO adalah Romo Sandjaja. Nama lengkapnya: Richardus Kardis Sandjaja. Seorang romo projo yang meninggal terbunuh di Dusun Kembaran, Muntilan, 20 Desember 1948, pada usia 34 tahun. Pribadi Romo Sandjaja adalah pribadi sederhana, sesuai dengan semboyan hidupnya, “Dados romo projo ingkang prasaja”.

Romo Sandjaja merupakan salah satu martir pertama yang sangat terkenal di Tanah Jawa. Ia menjadi simbol ketabahan, kesederhanaan, kesetiaan, dan kesucian. Makam Romo Sandjaja di Kerkop Muntilan adalah tempat yang selalu diziarahi setiap Pak JO pulang. Kata Pak Swantoro, foto Romo Sandjaja selalu ada di dompet Pak JO. Sayang, saya tak sempat bertanya dan mengeceknya.

Pada diri Romo Sandaja, Pak JO sperti menatap cermin: orang harus berusaha hidup selaras dengan kehendak Tuhan, pun jika itu berarti harus mengalami pengorbanan, penderitaan, bahkan kematian. Selain Margaretha Kartonah, ibunya, Romo Sandjaja-lah sumber kekuatan dan energi spiritual bagi Pak JO.

 

Jakarta, 18 Desember 2020

Y. Priyo Utomo

CEO Group of Retail and Publishing

(100 Hari Mengenang sang Guru, Jakob Oetama)