Info KG

>

#CumadiKG

#CumadiKG

Setelah Pak JO Pergi (oleh Y. Priyo Utomo) - Bagian 5

AGATHA TRISTANTI

Corporate Branding Analyst - Dipublikasikan

 

KG PASCA PAK JO

Dalam salah satu webinar memperingati “40 Hari Jakob Oetama”, ada seorang pembicara yang melontarkan pernyataan menggugah: “Selamat jalan, Pak Jakob Oetama, selamat ‘tinggal’ Kompas.” Pembicara tersebut telah berlangganan koran Kompas selama 52 tahun, dan berhenti jadi pelanggan sejak pandemi melanda. Dalam webinar itu diajukan pula pertanyaan substansial: bagaimana nasib KG sepeninggal Pak Jakob?

Atas pernyataan dan pertanyaan itu, tentu, kita berterima kasih. Tak perlu gusar. Lebih bijak kalau dijadikan bahan introspeksi dan evaluasi. Pernyataan itu adalah manifestasi kepeduliannya terhadap Kompas, ekspresi kerinduan pada Kompas seperti yang dulu dia kenal. Dia merasa, ada yang berubah dengan Kompas. Cinta pun bisa pudar ditelan waktu. Memang, sulit memisahkan Pak JO dengan Kompas. Pak JO adalah personifikasi MENGAPA Kompas—dan kemudian Grup KG—ada. Persepsi dan asosiasi ini begitu kuatnya, sampai-sampai orang dalam pun, dalam majalah internal paguyuban purnakarya KG, InfoMini, menyebut, “Kompas adalah Pak Jakob, Pak Jakob adalah Kompas”. Apa boleh buat, dalam beberapa hal, kelebihan adalah sekaligus juga kelemahan.

Hampir semua organisasi dan perusahaan dibangun dengan kekuatan satu kepribadian. Begitu orang ini pergi, organisasi atau perusahaan bisa mengalami kesulitan bahkan kemunduran. Persoalannya bukan kapan itu terjadi. Semua pendiri pada akhirnya akan pergi atau meninggal. Tantangan kita adalah menemukan cara-cara yang efektif agar visi, roh, spirit sang pendiri bisa hidup untuk selamanya. Suatu organisasi, menurut Simon Sinek dalam bukunya Start With Why, terdiri dari tiga dimensi Lingkaran Emas, yaitu: Mengapa, Bagaimana, Apa.

MENGAPA adalah tujuan, kepercayaan, atau isu yang diperjuangkan.

BAGAIMANA adalah tindakan yang kita lakukan untuk mewujudkan kepercayaan itu.

Sedangkan APA adalah hasil tindakan itu: produk, jasa yang kita hasilkan.

Pak JO, juga Pak Ojong, adalah jenis orang MENGAPA: visioner, imajinatif. Fokusnya pada visi masa depan, hal-hal yang tidak dilihat banyak orang. Sedangkan orang jenis BAGAIMANA adalah yang meuwujudkan visi itu. Mereka realis dan mempunyai pemahaman yang jelas tentang segala hal yang praktis. Pak Adi, Irawati, Pak Swan, dan pimpinan lainnya serta para karyawan awal adalah jenis orang BAGAIMANA: fokus pada membangun struktur, proses, dan menyelesaikan segala sesuatunya. Yang satu tidak lebih tinggi atau lebih rendah dari lainnya. Sebuah MENGAPA tanpa BAGAIMANA, passion tanpa struktur dan sistem, kemungkinan akan gagal. Keduanya saling melengkapi. Perusahaan, termasuk KG, akan langgeng kalau menjaga tiga dimensi itu secara seimbang. Ketika ketiga hal itu—Mengapa, Bagaimana, Apa—buram dan goyah, perusahaan akan pudar, bahkan mengalami kemunduran.

Ketika perusahaan masih kecil, ketiga hal itu biasanya terjaga dengan baik. MENGAPA-nya terjaga dengan jelas karena sumber passion-nya secara fisik datang ke kantor setiap hari. Bekerja di satu ruangan bersama sang pendiri yang karismatik dapat menumbuhkan perasaan bangga dan istimewa sebagai bagian dari isu perjuangan. Dengan nada heroik, para perintis dan karyawan awal KG acap bercerita bagaimana dulu mereka bekerja di ruang kecil berjejal, dengan kaus singlet tanpa baju karena udara pengap dan panas karena tak ber-AC.

Tetapi, ketika perusahaan bertumbuh, secara fisik pemimpin tidak lagi bisa hadir di semua tempat, semakin lama MENGAPA-nya semakin menjauh dari BAGAIMANA dan APA yang dilakukan perusahaan. Terjadi keterpisahan. Hampir semua perusahaan pernah mengalami keterpisahan ini. Ada yang memudar selamanya, ada yang bersinar kembali. Tantangan terbesar yang dihadapi oleh setiap perusahaan adalah sukses itu sendiri. Success trap. Manakala perusahaan masih kecil, pendiri membuat semua keputusan sendiri: dari merekrut karyawan sampai soal redaksi, bisnis, marketing. Ketika perusahaan tumbuh menjadi besar, mustahil satu orang mengerjakan dan membuat semua keputusan. Dia harus mulai memilih orang-orang yang akan dipekerjakan dan memercayai serta mengandalkan mereka untuk membuat keputusan-keputusan besar. Tanpa disadari, pelan-pelan MENGAPA mulai buram dan memudar.

Saya percaya perusahaan KG akan bisa terus menginspirasi dan langgeng kalau MENGAPA-nya sang pendiri, Pak Ojong dan Pak JO, telah tertanam menjadi budaya perusahaan. Regenerasi dan suksesi akan sukses kalau KG dipimpin oleh seorang yang terinspirasi dan sejalan dengan isu perjuangan awal ketika perusahaan didirikan, dan bukan sekadar orang yang memiliki ketrampilan tertentu. Seorang yang tidak memimpin visinya sendiri, tetapi seorang yang melanjutkan visi yang telah ditetapkan sejak awal. Karena itu, istilah yang tepat adalah sang penerus, bukan pengganti. Ada keberlanjutan visi. Sebaliknya, kalau pemimpin berikutnya hanya memusatkan pertumbuhan pada APA (ebitda, laba), dan melupakan MENGAPA, perusahaan akan memudar, semangat kerja akan merosot, eksodus karyawan, kinerja memburuk. Perlahan tapi pasti, akan terjadi ketidakpercayaan dan budaya mementingkan kepentingannya sendiri.

KG bukan dibangun untuk menjadi sekadar sebuah perusahaan media. KG dibangun untuk memenangkan suatu isu perjuangan. Kebetulan saja menggunakan perusahaan media untuk mewujudkannya. APA dan BAGAIMANA—bisnis model, strategi, platform, operasional sehari-hari, cara kerja, teknologi—boleh, bisa, dan harus berubah sejalan perkembangan zaman dan perubahan yang terjadi, tetapi MENGAPA kita melakukannya tidak akan pernah berubah.

Sejak awal, Pak Ojong sudah memikirkan keberlangsungan dan perlunya kaderisasi, regenerasi. Dalam salah satu warisan tulisannya, ia berpendapat bahwa perusahaan itu baik kalau pemimpin-pemimpinnya tidak onmisbaar. Artinya, kalau pemimpin itu tidak ada lagi, perusahaan harus tetap berjalan. Semasa hidupnya, Pak JO beberapa kali mengatakan bahwa ia merasa sungguh-sungguh berhasil ketika ia pergi, perusahaan tetap eksis, bertahan untuk jangka waktu lama.

Untuk menutup tulisan ini, izinkan saya mengisahkan kembali dongeng karya Aesop tentang “Sang Angsa dan Telur Emas”.

Alkisah ada seorang petani miskin yang suatu hari menemukan sebutir telur emas yang berkilauan di kandang angsa peliharaannya. Pada awalnya ia berpikir itu pasti semacam tipuan. Akan tetapi, saat akan membuang telur itu, ia berpikir ulang, lalu menyimpan dan menganggapnya sebagai barang berharga. Telur itu ternyata terbuat dari emas murni! Sang petani tidak percaya akan keberuntungannya. Pada hari-hari berikutnya, ia semakin tidak percaya, setelah hal itu terjadi berulang-ulang. Hari demi hari, ia bangun tidur dan terburu -buru menuju kandang angsa untuk mendapati telur emas. Ia menjadi luar biasa kaya; semua ini kelihatannya seperti sesuatu yang mustahil menjadi kenyataan. Akan tetapi, seiring kekayaannya bertambah, muncullah sifat tamak dan tak sabaran. Karena tak sabar menunggu telur emas itu hari demi hari, sang petani memutuskan untuk membunuh angsa itu untuk mendapatkan semua telur emasnya sekaligus. Akan tetapi, ketika memotong angsa itu, ia tak mendapati apa-apa. Tidak ada telur emas—dan sekarang tidak ada cara untuk mendapatkan telur emas lagi. Sang petani sudah melenyapkan nyawa angsa yang menghasilkan telur emas itu.

Tidak seperti sang petani itu, semoga kita semua bisa merawat angsa emas dengan baik dan menggunakan telur emasnya sebagaimana mestinya.

 

Jakarta, 18 Desember 2020

Y. Priyo Utomo

CEO Group of Retail and Publishing

(100 Hari Mengenang sang Guru, Jakob Oetama)