Dubes Eddy Pratomo menjelaskan autobiografinya memang tidak melulu bercerita tentang perjalanan karier diplomat yang ia tekuni selama 32 tahun. Ia mula-mula mengajak pembaca mengembara ke era 1965–1966 dengan latar kampung halamannya di Kendal, Jawa Tengah. “Banyak memori pribadi yang sangat membekas, terutama dipicu oleh sengkarut perpolitikan Tanah Air pada masa itu,” ujarnya.
Lantas, kenapa Diplomat Kesasar? Menurut Eddy, kehidupan pribadinya memang sarat diwarnai cerita kesasar. Setelah menamatkan pendidikan guru agama tingkat pertama di Kendal, ia melanjutkan sekolah calon penghulu di Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogyakarta. “Batal jadi naib, saya malah terdampar jadi mandor perusahaan kayu di pedalaman hutan Kalimantan, sebelum akhirnya ‘kesasar’ masuk Kemenlu,” tuturnya.
Karier panjang Eddy Pratomo sebagai diplomat di New York, Jenewa, London, dan Berlin silih berganti dengan penugasan di birokrasi. Di antaranya sebagai Dirjen Hukum Perjanjian Internasional Kemenlu, Staf Khusus Ketua DPR RI, serta Utusan Khusus Presiden untuk Penetapan Batas Maritim antara Republik Indonesia dan Malaysia (2015–2018).
Di ranah akademik dan dunia usaha, Eddy bahkan kesasar ke mana-mana. “Tanpa bermaksud sok-sokan, tidak banyak duta besar yang menjadi guru besar, sekaligus produsen alat kesehatan, berbisnis barang rongsokan hingga pertambangan,” ujar bapak tiga anak ini. Selepas pensiun dari Kemenlu, Eddy bahkan masih kesasar menjadi birokrat kampus usai terpilih sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Mei lalu. Saat ini Eddy Pratomo juga masih mengemban amanah sebagai Staf Ahli Kementerian Kelautan dan Perikanan bidang Penganggulangan Illegal Fishing dan Staf Ahli Kemenlu bidang Perundingan Batas Maritim antara Indonesia dengan Negara Tetangga.