Info Unit

Info Unit News

FLASH NEWS

Merayakan Warisan Seni Jemek Supardi dan Keluarga Lewat Pameran “Tuku Pangarep-Arep” di Bentara Budaya Yogyakarta

YOGYAKARTA, 8 MEI 2025 – Bentara Budaya Yogyakarta mempersembahkan pameran seni lintas generasi bertajuk “Tuku Pangarep-Arep”, yang berlangsung pada 7–14 Mei 2025. Pameran ini mempertemukan karya, arsip, dan pertunjukan dari keluarga seniman yang memberikan kontribusi penting dalam seni rupa dan pertunjukan Indonesia: maestro pantomim Jemek Supardi, pelukis Threeda Mayrayanti, dan penari serta pendidik seni Kinanti Sekar Rahina.

Lebih dari sekadar pameran, “Tuku Pangarep-Arep” juga menjadi momen untuk mengenang 1000 hari wafatnya Jemek Supardi, sekaligus berperan sebagai ruang perayaan atas nilai-nilai yang diwariskan kepada generasi penerus. 

Judul pameran yang secara harfiah dimaknai sebagai “membeli harapan”, diangkat dan dimaknai lebih mendalam dalam catatan kuratorial Suwarno Wisetrotomo. Ia menuliskan bahwa pameran ini bukan hanya bentuk penghormatan terhadap seorang maestro, tetapi juga upaya merawat harapan dan cita-cita yang tumbuh lintas generasi.

Jemek Supardi dikenal sebagai seniman yang menolak tunduk pada konvensi. Dalam perjalanan panjangnya, ia menapaki jalan pantomim yang dipenuhi tantangan, menjadikan tubuh sebagai bahasa, suara, dan bahkan senjata untuk menyuarakan kritik sosial. Bersama sang istri, Threeda Mayrayanti–yang menghadirkan ketelatenan dan energi tubuh rakyat seperti Tayub ke dalam kanvas–mereka membangun rumah seni yang hidup dan bernapas. Kini, estafet itu diteruskan oleh Kinanti Sekar Rahina yang memperluas warisan tersebut melalui tari, pendidikan, dan kerja komunitas lintas disiplin.

whatsapp image 2025 05 08 at 16 30 23 31d0c4b0

Dok. Bentara Budaya Yogyakarta

“Yang diwariskan oleh Jemek dan Threeda bukan hanya karya, namun juga nilai-nilai keberanian, ketekunan, dan kebermaknaan. Pameran ini adalah ruang untuk melihat bahwa warisan itu hidup, terus bergerak, dan senantiasa ditafsirkan ulang oleh generasi berikutnya,” tutur Suwarno.

Menurut Suwarno, pameran ini merefleksikan tiga hal penting: kesinambungan, tafsir ulang, dan keberanian. Lukisan-lukisan Threeda tidak hanya merekam gerak, tetapi juga menghadirkan energi tubuh rakyat dalam tafsir visual yang bebas. Arsip Jemek bukan sekadar dokumentasi, melainkan jejak hidup seorang seniman yang memilih kesunyian tubuh untuk bersuara lantang. Sementara itu, karya dan praktik Kinanti menunjukkan bagaimana warisan seni terus dihidupkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa zaman.

“Pameran ini bukan hanya tentang mengenang ayah saya, tetapi tentang bagaimana apinya terus menyala. Saya merasa ini bukan beban, melainkan harapan yang dititipkan untuk dapat diteruskan bersama teman-teman dan komunitas,” ungkap Kinanti. 

whatsapp image 2025 05 08 at 16 30 09 79cd49e2

Dok. Bentara Budaya Yogyakarta

Pameran dibuka secara resmi pada Rabu Wage, 7 Mei 2025 oleh Butet Kartaredjasa, serta turut dimeriahkan oleh pertunjukan kolaborasi Kinanti Sekar Rahina, Asita Kaladewa, Guntur Nur Puspito, dan kelompok Papeyo Indonesia yang menyatukan seni pantomim, tari, dan musik. 

Setelah pembukaan, pameran berlangsung dari 8-13 Mei 2025 pukul 10.00 - 21.00 WIB, dan 14 Mei 2025 pukul 10.00 - 17.00 WIB. Penutupan akan diwarnai oleh pertunjukan tari Lengger Banyumasan “Sekar Melati” oleh koreografer Rianto serta Kinanti & Kinari Dance pada 13 Mei 2025.

whatsapp image 2025 05 08 at 16 30 10 b8534596

Dok. Bentara Budaya Yogyakarta

“Tuku Pangarep-Arep” mempertemukan publik dengan karya seni rupa, arsip, dan  pertunjukan, sembari mengajak kita melihat seni sebagai ruang penghubung antar waktu. Pameran ini menawarkan kesempatan bagi masyarakat untuk merefleksikan makna keberlanjutan, keberanian mengambil jarak dari pakem, sekaligus kesediaan untuk kembali memaknai akar.

Bagi keluarga Jemek, pameran ini bukan hanya mengenang, tetapi juga meneguhkan bahwa warisan sejati bukan sekadar dilestarikan, melainkan dihidupkan. Bagi publik, ini adalah ajakan untuk ikut membeli harapan, senantiasa berambisi bahwa seni dapat terus menemukan tempatnya di tengah kehidupan yang berubah cepat. (Bentara Budaya Yogyakarta)