Bentara Budaya Yogyakarta, 25-30 Mei 2022
Yogyakarta ibarat kawah candradimuka yang mematangkan elan kreatif para seniman yang bermukim di dalamnya. Ya, ini bukanlah ungkapan yang berlebihan. Dalam dunia seni rupa misalnya, linimasa sejarah sejak 1940an hingga era kontemporer hari ini telah menunjukkan betapa Yogya selalu menjadi ruang pertemuan, persemaian, bahkan pula perdebatan gagasan-gagasan kesenian yang beragam. Setiap seniman seakan-akan dapat dengan luwes menumpahkan kreativitas mereka dan Yogya, sebuah kota dengan kultur sosial dan budayanya yang khas ini, pelan-pelan membentuknya. Begitulah, kita dapat dengan mudah menemukan aneka karya rupa yang masing-masing menawarkan ide, konsep, hingga warna pencariannya masing-masing—dan semuanya diciptakan oleh seniman berbagai latar, baik usia, tempaan pendidikan, status sosial, serta muasal tanah kelahirannya.
Ciri lain yang barangkali turut mempengaruhi berseminya kesenian di Yogyakarta ialah nuansa kebersamaannya. Tanpa bermaksud romantik apalagi nostalgik, cobalah sesekali meluangkan waktu menyelami suasana kesenian di kota ini, maka saya percaya bahwa ungkapan itu pun tidak mengada-ada sifatnya. Meskipun di Yogyakarta tersebar berbagai galeri dan komunitas seni, karakteristik kebersamaan lewat saling srawung itu tak kunjung lekang sehingga siapapun boleh-boleh saja ‘melompat’ dari satu ruang budaya ke ruang budaya lain buat menyimak ragam karya yang dihadirkan serta membincangkannya secara gayeng. Dalam percakapan-percakapan itu mengemuka pula kritik, yang barangkali terasa nyelekit, namun agaknya ini tidak menyurutkan elan-elan berkesenian. Bukankah sekali lagi, Yogyakarta adalah kawah candradimuka, yang dengan caranya sendiri menempa kreator yang hidup di dalamnya?
Kebersamaan itulah yang terasa dalam pameran kelompok An.de.fe.ni.si+a di Bentara Budaya Yogyakarta kali ini. Menyimak para perupa yang tergabung, yakni Agus TBR, Budi Ubrux, Budyono Kampret, Edopop, Harmanto, Herly Gaya, Irenius Bongky, Irwanto Lentho, Joko Sulistiono, M AidiYupri, Mahdi Abdullah, Mayek Prayitno, Moelyono, Rismanto Kendilmas, Sigit Santoso, dan Syahrizal Pahlevi, segera kita menyadari betapa mereka ingin mempertemukan bentuk-bentuk ekspresi kesenian yang berbeda. Tidak masalah apakah yang terangkum ialah perupa yang telah mapan atau yang masih meneguhkan eksistensinya, termasuk yang usianya belia maupun yang merentang panjang jalan kesenimanannya—semuanya hadir sama rata dan sama rasa tanpa jarak.
Esensi kebersamaan dan saling srawung itulah yang selama ini menjadi napas semangat Bentara Budaya. Selama empat puluh tahun kehadirannya, tak terelakkan betapa lembaga ini erat kaitannya dengan rasa guyub-gayengnya para seniman yang berkecimpung di dalamnya. Generasi demi generasi memang terus berganti tetapi apa yang menjadi dasar tumbuhnya ruang publik ini niscaya tidak terhenti: seniman dan lembaga senantiasa menjabat tangan secara hangat dan mendukung munculnya bentuk-bentuk kesenian yang membanggakan.
Karenanya betapa Bentara Budaya amat berbahagia bisa menjadi bagian dalam perjalanan berkesenian kelompok An.de.fi.ni.si+a. Mengangkat tema yang kompleks yakni respons kreatif atas persoalan kemanusiaan, lingkungan, serta sisik-melik kebudayaan, para perupa mengetengahkan sepilihan karya gambar (drawing) yang menarik buat disimak pada pameran yang berlangsung 25 – 30 Mei 2022 ini.
Dari sekian kelompok dan komunitas seni yang mengikuti gelaran pameran drawing, yang digagas oleh Forum Drawing Indonesia dengan format Indonesia Menggambar, Andefinisia salah satu kelompok dengan pilihan nama tidak biasa. Kosa Undefinisia diIndonesiakan menjadi Andefenisia. Nama kelompok ini secara terang, tidak saja mengubah persepsi tentang definisi tapi juga mengarahkan pikiran kita pada apa yang tidak terdefinisi. Definisi diketahui sebagai batasan. Andefinisi disepakati oleh mereka sebagai sesuatu yang "tidak" terbatas, meski dari semula mereka menyadari pijakan dari suatu batasan adalah definisi itu sendiri.
Mereka berharap problem teknis perihal definisi drawing, setidak-tidaknya bisa dilewati. Tidak seperti seni grafis yang belum move on soalan teknis dan etik. Perkembangan lebih lanjut dimungkinkan pada wilayah ide atau konsep dan bagaimana hasil dari karya itu sendiri. Pada akhirnya pesan dan makna dibalik karya menjadi nilai lebih, yang darinya setiap orang dapat menafsirkannya secara arbitrer, mengambil manfaat atau bahkan terinspirasi dari amatan atas karya seni yang sedang diamati. Pendeknya, ia merupakan media perenungan. Yang berangkat dari wilayah praktik, namun sekaligus berjarak dari area pragmatik.
Upaya menyampaikan gagasan dan cita rasa estetik yang ingin dicapai perupa, salah satunya adalah bagaimana sebuah karya seni memberi dampak terhadap audiennya, paling tidak mengetuk pikiran oleh apa yang dirasa ketika penetrasi itu sedang berlangsung. Audien secara langsung atau pun tidak memproyeksikan persepsi dan imajinya dalam kaitannya dengan visual dan keterhubungan konsep dibaliknya. Dari sini audien memiliki gambaran dan sinyal menangkap pesan atas karya tersebut.
“Kelompok Andefinisia” yang digawangi oleh perupa Mahdi Abdullah merupakan salah satu kelompok yang ikut aktif menggerakkan dan akan mewarnai peta seni rupa. Kegiatan pameran ini merupakan bagian dari “Bulan Mei sebagai Bulan Menggambar Nasional” yang diharapkan dapat diapresiasi secara luas oleh public penikmat seni rupa di Yogyakarta dan Indonesia pada umumnya.
Peresmian Pameran:
🗓 Rabu, 25 Mei 2022
⏰ Pukul: 19.00 WIB
📍 Bentara Budaya Yogyakarta
Jl. Suroto No. 2 Kotabaru, Yogyakarta
Dibuka oleh:
dr. Oei Hong Djien
Pameran berlangsung:
🗓 26 – 30 Mei 2022
⏰ Pukul 10.00-19.00 WIB
Selama berlangsungnya pameran akan ada performances oleh beberapa seniman yang ikut serta di pameran ini
RSVP Pengunjung pameran
www.bentarabudaya.com
Selamat menyaksikan pameran
Salam Budaya Bentara Budaya
#bentarabudaya #kompasgramedia
Sumber: Aryani/Bentara Budaya