Bertahun-tahun Pak Jakob Oetama disopiri Pak Madjid yang setia dan selalu salat lima waktu. Rumahnya di Petukangan. Sosoknya ramah, selalu tersenyum, tidak banyak bicara. Pak Jakob sangat percaya, merasa aman dan nyaman. “Dia sabar, Mas.” Itu saja yang pernah saya tangkap dari ujaran Pak Jakob. Ketika Pak Madjid mantu, Pak Jakob datang, begitu juga ketika Pak Madjid meninggal.
Posisi Pak Madjid digantikan Mas Sardju. Orangnya banyak tertawa, pembawaannya gembira, akrab dengan siapa pun karyawan Kompas Gramedia atau siapa pun yang berhubungan dengan Pak Jakob. Mas Sardju terkesan rongeh, lincah, sok akrab, tapi jangan coba-coba tanya tentang Pak Jakob dan keluarganya. Dijamin sia-sia, hopeless, deh!
Ketika Mas Sardju beralih tugas jadi sopir keluarga Pak Jakob, posisinya digantikan Mas Suwandi yang asli Cirebon. Mas Suwandi ini pembawaannya lebih kalem dan tenang, memberi kesan percaya diri. Orangnya masih muda, paling muda dibanding Pak Madjid dan Mas Sardju. Sepintas melihat gerak-gerik dan sosoknya, orang akan menyangkanya sebagai ajudan atau bodyguard Pak Jakob, bukan sopirnya. Padahal seumur-umur Pak Jakob tidak pernah punya ajudan maupun bodyguard.
Karena saya lebih sering bertemu dengan Mas Wandi dibanding Pak Madjid dan Mas Sarju, saya lebih mengenal Mas Wandi. Masuk akal, sebab setahu saya Mas Wandi menjadi sopir pribadi ketika Pak Jakob masih aktif maupun ketika mulai mengurangi kegiatannya, juga di masa pandemi. Dari sekian ujaran, komentar, dan beberapa peristiwa, saya punya kesan Pak Jakob sangat memercayainya.
Buah Kesetiaan
Beberapa tahun lalu saya diminta mendampingi Pak Jakob menghadiri undangan peresmian Stasiun TransTV di Bandung. Beliau menjadi tamu VVIP di hotel kompleks Stasiun TransTV milik Chairul Tanjung dan ditempatkan di kamar paling besar, mungkin presidential room. Saya ditempatkan sendiri di kamar sebelah, Mas Wandi juga sendiri. Malam itu kami berkumpul di kamar Pak Jakob yang luar biasa luas itu. Kami mengobrol ngalor-ngidul tentang berbagai hal, mulai dari yang serius tentang kondisi masyarakat sampai ke persoalan remeh, ditemani minum teh, nyamikan kering, dan buah-buahan. Sekitar pukul sembilan, Pak Jakob berseru, "Wandi, Wandiii." Tidak sampai tiga kali, Mas Wandi datang. Pak Jakob lalu bilang, "Ganti kaus." Setelah ganti kaus dan memakai sandal kamar, Pak Jakob berkata, "Kita istirahat, Mas, besok masih ada acara.
Pagi hari, sarapan diantar ke kamar sesuai pesanan. Ketika kami makan pagi, Pak Jakob bercerita tentang Mas Wandi. "Dia lulusan STM. Rajin. Prigel. Saya percaya dia." Saya diam mendengarkan. Saya simpan, pun tidak saya sampaikan ke Mas Wandi. Baru beberapa tahun kemudian, ketika saya sering bertemu Mas Wandi, tanpa cerita soal apresiasi Pak Jakob, saya bertanya, “Mas lulusan STM? Boleh, lho Anda.” Dia hanya tersenyum, menjawab, “Tidak sekolah, kok.”
Naluri kewartawanan saya tumpul, tidak ingin bertanya lebih jauh. Saya kemudian tahu, benarlah ujaran Pak Jakob di Bandung itu. Bahkan, satu sebutan lagi saya temukan, yaitu setia. Itu tidak dikatakan Pak Jakob, tapi kesetiaan ini saya lihat sebagai buah kepercayaan Pak Jakob.
Suatu hari, Pak Jakob berkali-kali mengatakan ingin ke Yogya lewat darat pakai kendaraan pribadi. Tanpa diminta, saya mengambil cuti, berangkat menempuh jalan darat—jalur utara baru tol Jakarta—Cikampek, menginap di Cirebon (Hotel Santika), dan esoknya menuju Yogya. Balik Jakarta lewat selatan, menginap di Purwokerto (Hotel Santika). Jangan tanya GPS. Belum ada, kalaupun ada kadang GPS menyesatkan. Saya catat dengan teliti mana ruas jalan yang rusak, sedang diperbaiki, bergelombang, cenderung tersendat, atau yang lancar jaya.
Sampai di Jakarta, saya sampaikan perjalanan ke Yogya. Pak Jakob bilang, “Ke Yogya lagi, ya?” Pak Jakob nyindir atau lupa, saya tidak tahu. Saya pun ingatkan tentang keinginan Pak Jakob ke Yogya lewat darat pakai mobil sendiri. “Ditemani siapa, Pak?” tanya saya. Pak Jakob tersenyum, mengatakan, “Wandi.” Saya spontan mengira Mas Suwandi Brata dari Penerbit Gramedia. Dugaan saya keliru. Spontan saya ingat teriakan Pak Jakob malam itu di Bandung, “Wandi, Wandiii.”
Setahu saya, sesudah peristiwa itu, keinginan Pak Jakob menempuh perjalanan lewat darat tidak kesampaian hingga meninggalnya, 9 September yang lalu. Sudah pasti, jauh-jauh sebelumnya Jakarta-Yogya lewat darat dengan mobil pribadi sering beliau lakukan. Ketika diminta menulis oleh Mas Eddie Dipo dari PPKG, saya diyakinkan tentang keakraban majikan dan sopir. Kepercayaan (Pak Jakob) adalah buah dari kesetiaan (Mas Wandi) pada kerja sebagai tanggung jawab dalam profesi apa pun. (St. Sularto/P 21112087)