Mengutamakan kesejahteraan bersama Pak Ojong menetapkan uang makan dari bos sampai pesuruh jumlahnya sama. Ia kerap mentraktir karyawan yang bekerja di sif malam telur rebus dan kacang hijau untuk membantu menjaga kesehatan mereka. Tradisi ini terus berjalan di Kompas Gramedia berupa pembagian telur atau susu bagi karyawan percetakan atau redaksi yang bertugas di sif malam. Profesi wartawan yang rentan stres juga menjadi perhatian. Karena itulah, lahirlah Wisma Pacet dan Wisma Karang Bolong sebagai tempat rekreasi pelepas penat bagi wartawan atau karyawan KG lainnya.
Membela orang kecil dan tertindas Rubrik Kompasiana yang Pak Ojong tulis di Harian Kompas menjadi alatnya memberi saran dan mengkritik pemerintah pada masa itu serta membela yang tertindas. Keberpihakannya pada kaum papa dan teraniaya jugalah yang mendorongya untuk menyokong pendirian Lembaga Bantuan Hukum (LBH), sekarang YLBHI.
Peduli sesama Selain menjadi wartawan, Pak Ojong juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial untuk kesejahteraan orang-orang kurang mampu. Ia enggan mengeluarkan uang untuk menyumbang pesta perkawinan, tapi ia tak segan mengeluarkan jutaan dolar untuk mendukung kegiatan sosial yang menolong banyak orang miskin.
Menghargai orang kecil Sebagai pimpinan perusahaan, Pak Ojong tak menolak saat ditawari makan dan diajak makan bersama oleh karyawan biasa. Sambil makan, Pak Ojong senantiasa memberi dukungan dan apresiasi bagi karyawan atas kinerja mereka. Ia sering datang ke percetakan pada malam hari atau ke redaksi untuk menyapa langsung karyawan di lapangan, dari kalangan pesuruh sampai pimpinan yang ditemui.
Bergaul dengan semua kalangan Semasa hidup, Pak Ojong punya klub diskusi bersama aktivis muda pada masanya: Soe Hok Djin—yang kemudian menjadi Arief Budiman—dan Soe Hok Gie, Soedjatmoko, Rosihan Anwar, Ong Hok Ham, dan lain-lain. Pak Ojong juga ikut membantu para sastrawan pada masa itu—Mochtar Lubis, Zaini, Taufiq Ismail, dan Arief Budiman—menerbitkan Majalah Horison yang khusus memuat dunia sastra.
Berbeda pendapat itu wajar Pak Ojong dan Jakob Oetama adalah dua sosok perintis KG yang saling melengkapi. Mereka tak selalu sependapat dan sejalan. Namun, saat kesepakatan bersama sudah diputuskan, maka semua akan menjalankannya secara baik dan profesional.
Cinta lingkungan Satu hal yang bisa mengalihkan Pak Ojong dari buku adalah tanaman. Ia senang menikmati kehijauan dan pengetahuannya tentang tanaman sangat luas. Bunga favoritnya adalah bougenville. Beberapa kali ia menulis tentang pohon dan bunga dalam rubrik Kompasiana. Ia sangat kesal ketika pepohonan di depan Toko Buku Indira di Jalan Kebo Sirih ditebangi. Sewaktu Rumah Sakit Sumber Waras baru didirikan, halamannya masih gundul. Pak Ojong-lah yang mondar-mandir mencari bibit pohon untuk ditanam dan berkonsultasi dengan para ahli. Sekarang halaman itu sudah teduh dinaungi pohon lindung.
Dalam kesibukannya sebagai pemimpin perusahaan, Pak Ojong masih punya waktu untuk berbincang tentang pohon dan penghijauan Kota Jakarta dengan Kepala Dinas Pertanian. Gagasannya tentang penghijauan Jakarta disambut baik Gubernur DKI Jakarta masa itu, Ali Sadikin, yang lantas berkawan dengan Pak Ojong.
Kenapa Pak Ojong begitu senang bertanam pohon? Mungkin sedari awal ia punya kesadaran bahwa menanam pohon bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk dinikmati anak cucunya kelak. Pohon bungur di halaman kantor Kompas Gramedia Palmerah Selatan adalah salah satu pohon yang ia tanam. Kitalah yang menikmati apa yang ditanam Pak Ojong dulu.
Cinta budaya Indonesia PK Ojong gemar mengoleksi hasil karya seniman Indonesia. Ia menganjurkan kebiasaan membeli lukisan sebagai investasi agar para pelukis itu bisa hidup dan dapat turut mengharumkan nama Indonesia di seluruh dunia. Bentara Budaya didirikan dengan mengemban misi bahwa KG jangan cuma menulis soal budaya/budayawan melalui usaha medianya, tetapi hendaknya ikut melestarikan seni rakyat dengan memberi panggung bagi para seniman terpinggir.