Insight Kognisi

>

Soft Competency

Soft Competency

Saat Pintar Saja Tidak Cukup untuk Melamar Kerja

SULYANA ANDIKKO

HR Expertise Specialist - Dipublikasikan

Menjadi lulusan terbaik di kampus bergengsi merupakan suatu kebanggaan yang luar biasa. Bermodalkan kepintaran yang mumpuni, seolah menjamin langsung mendapat pekerjaan impian. Namun, ternyata pintar saja tidak cukup. Menurut berbagai penelitian, kecerdasan inteligensi hanya berkontribusi 20 persen dalam kesuksesan, 80 persen sisanya justru terletak pada faktor kecerdasan emosional. Keterampilan dalam mengelola--emosi--diri dan berinteraksi dengan orang lain merupakan modal yang tidak bisa diabaikan. Maka dari itu, Kognisi mengadakan webinar dengan judul “Cerdaslah EQ Saat Melamar Kerja!” dengan narasumber Anthony Dio Martin, yang oleh berbagai media dijuluki sebagai “The Best EQ Trainer Indonesia”. Webinar ini diselenggarakan Kognisi pada tanggal 2 Oktober 2020 yang dihadiri hampir 300 peserta. 

Kecerdasan emosional pada dasarnya mencakup dua hal, yaitu tentang mengelola diri sendiri atau intrapersonal dan mengelola orang lain atau interpersonal. Pada awal sesi, Martin memberikan contoh kasus seseorang yang baru lulus dan melamar ke suatu perusahaan lokal. Saat melakukan sesi wawancara, kisaran gaji yang ditawarkan tidak sesuai dengan ekspetasi orang tersebut karena ia adalah lulusan dari kampus terbaik di Indonesia. Kasus ini pun viral, banyak kritikan juga tanggapan oleh netizen karena tidak bijak dalam menyikapi hal tersebut. “Ketika melamar perkerjaaan, semuanya bergantung pada persepsi. Bagaimana orang lain melihat kita dan begitu pun sebaliknya,” ujar Martin. 

Ciri Pelamar Cerdas vs. Tidak Cerdas Secara Emosional
Terdapat tujuh ciri pelamar yang tidak cerdas secara emosi yang dijabarkan oleh Martin. Pertama, mementingkan gaji tanpa menunjukkan prestasi yang dimiliki. Memiliki ekspektasi terhadap gaji merupakan hal yang wajar. Namun, untuk menyamakan ekspektasi tersebut diperlukan kemampuan bernegoisasi. Martin memberikan tip dalam melakukan negoisasi gaji, yaitu dengan membiarkan pihak perusahaan untuk menyebutkan angka kisaran gajinya, sehingga bisa jadi gaji yang ditawarkan lebih tinggi dari ekspetasi atau jika lebih rendah dapat melakukan negoisasi yang masuk akal. “Fokus pada menunjukkan kemampuan yang dimiliki, sehingga bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan gaji,” ujar Martin. Saran tambahan adalah lakukan riset terlebih dahulu dari berbagai sumber mengenai standar posisi kamu dan bila kamu masih baru lulus, negosiasi gaji ini bisa dilakukan pada saat kamu wawancara akhir. 

Kedua, tidak mampu menempatkan diri dan membaca situasi. Ketiga, meninggikan diri dengan cara merendahkan perusahaan. Keempat, menunjukkan kesan tidak niat, seperti datang terlambat. Hal ini dapat memberikan penilaian yang buruk sejak awal. Kelima, tidak bersikap politis dalam menyikapi pekerjaan yang lalu dengan menjelek-jelekkan bos dan perusahaan sebelumnya. Keenam, tidak jujur dalam menulis kemampuan yang dimiliki di dalam Curriculum Vitae. “Lebih baik mengatakan tidak memiliki kemampuan tersebut, tetapi memiliki semangat untuk mempelajarinya,” ungkap Martin. Terakhir, persona yang dibangun di media sosial cenderung negatif dan tidak bijak. Seperti kasus yang disebutkan di awal karena bisa menimbulkan berbagai masalah lainnya dan berpengaruh pada citra diri kita. 

Selain ciri pelamar yang tidak cerdas secara emosi, tentu saja ada pula lima ciri pelamar yang cerdas secara emosi. Pertama, fokus pada prestasi dengan melakukan promosi diri saat wawancara, tetapi jangan terkesan sombong. Promosi diri (self-promotion) membuat diri kita lebih unggul, tetapi tetaplah rendah hati. Kedua, asah kemampuan mendengarkan dan merespons. “Prinsipnya adalah ‘you sell yourself before you sell your product’, kuncinya adalah percaya diri dan mempunyai sesuatu yang dapat  berguna untuk perusahaan,” ungkap Martin. 

Ketiga, menceritakan kekurangan diri dengan jujur, tapi sadar dan paham bagaimana mengatasi kekurangan tersebut. Menjelaskan kekurangan diri dapat melatih kesadaran diri dan belajar dari suatu proses. Keempat, membangun kadar kesukaan orang lain terhadap kita (likeability factor). L-factor adalah kerangka yang diperkenalkan oleh Tim Sanders yang percaya bahwa faktor tersebut adalah sesuatu yang bisa dibangun dari diri kita. L-factor terdiri 4 faktor yaitu: (1) Keramahan, bagaimana kita memancarkan energi positif; (2) Kepekaan, bagaimana kita peduli dengan keadaan perusahaan; (3) Koneksi,  bagaimana kita dapat menciptakan rasa nyambung ketika diajak berbicara; dan (4) Ketulusan, bagaimana kita menunjukkan kesungguhan hati. Dan yang tak kalah penting juga, “Memiliki kepercayaan diri itu krusial,” tutur Martin dalam menutup ciri pelamar yang cerdas secara emosi.

Kognisi merupakan platform berbasis edukasi persembahan Growth Center by Kompas Gramedia yang dibangun pada Mei 2019. Kognisi secara periodik juga mengadakan webinar yang terbuka untuk publik. Informasi lebih lanjut mengenai webinar Kognisi selanjutnya bisa langsung mengunjungi akun Instagram @kognisikg dan situs learning.kompasgramedia.com (khusus karyawan Kompas Gramedia). Selamat belajar, Kogi Friends! Stay safe, healthy, and sane! (*)


Penulis: Riska Krisnovita | Editor: Sulyana Andikko | Ilustrator: Elvira Tantri