Insight Kognisi

>

Technical

Technical

Strategi Wawancara Kerja: Mencari Kecocokan Budaya, Organisasi, dan Pekerjaan

SULYANA ANDIKKO

HR Expertise Specialist - Dipublikasikan

Sesi wawancara merupakan salah satu sesi paling krusial dalam proses rekrutmen. Menurut People Operation & Culture Manager CoHive Marcelinna Adinda, 80 persen keputusan rekrutmen dibuat berdasarkan hasil sesi wawancara. Hal ini disampaikannya dalam webinar persembahan Kognisi bertajuk “Preparing Your Interview to Stand Out from the Crowd” pada 3 Oktober 2020 lalu.

Dengan hampir 400 peserta, Marcellina mengawali sesinya dengan memberikan sebuah pertanyaan, “Menurut kalian, pertanyaan apa yang paling sulit dijawab saat interview?”

Beragam respons dari audiens pun muncul, mulai dari pertanyaan seputar kekurangan dan kelebihan diri, besaran gaji, alasan berhenti dari perusahaan sebelumnya, hingga alasan mengapa ingin bergabung dengan perusahaan yang dilamar. Marcellina menyatakan bahwa ia setuju dengan respons audiens. Namun, menurutnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan baik jika kita mampu mengenali pola pertanyaan dan menyiapkan strategi untuk menjawabnya.

Mengubah Kesalahan Persepsi
Dalam pemaparan awalnya, Marcellina menjelaskan untuk dapat mengenali pola pertanyaan dan menyiapkan strategi menjawab pertanyaan pewawancara, perlu untuk mengubah kesalahan persepsi yang sering kali terjadi ketika proses wawancara. Menurutnya, terdapat tiga kesalahan persepsi yang kerap kali terjadi. “Pertama, tidak menjadi diri kita sendiri saat interview berlangsung. Sesi interview itu seperti sesi PDKT, kalau gak jadi diri sendiri dan memaksakan jadi orang lain mungkin akhirnya jadian tapi gak bertahan lama,” jelasnya.

Kesalahan persepsi kedua adalah belum dapat mengomunikasikan keahlian dan pengalaman dengan baik, sehingga hal tersebut tidak tersampaikan kepada pewawancara. Ketiga, sering kali kandidat mempersepsikan bahwa sesi wawancara hanya berjalan satu arah, sehingga menganggap hanya pewawancara saja yang dapat mengajukan pertanyaan. Padahal, menurut Marcellina, sesi wawancara adalah sesi untuk saling mengenal, baik bagi rekruter untuk mengenal kandidat maupun bagi kandidat untuk mengenal perusahaan.

“Pertanyaan yang paling susah menurutku yang belum disebutkan tadi adalah, ‘ada pertanyaan untuk kami?’ atau ‘silakan, ada yang ingin ditanyakan?’. Kesempatan ini harus dipakai untuk memberikan pertanyaan yang tajam dan membuat rekruter terkesan, karena seringkali fresh graduate diberi kesempatan (tetapi) tidak dimanfaatkan. Sesi ini adalah sesi yang paling ditunggu oleh rekruter, karena rekruter akan menilai seberapa eager dan interest kalian masuk ke perusahan tersebut,” tegas Marcellina.


Inconvenient Truth dalam Sesi Wawancara
Setelah berhasil mengubah persepsi, Marcellina kembali menyarankan untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum sesi dimulai. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa rekruter memiliki atensi yang tidak lama. “Mereka bisa punya bias dan menilai dari awal. Dalam 30 detik pertama sudah (bisa) judge. Apalagi yang sudah lelah seharian (mewawancarai kandidat), bisa membuat judgment yang dibuat dalam 30 detik pertama menjadi judge yang fix. Bahkan, dalam empat sampai delapan detik kalau ngomongnya babbling maka atensi akan berubah,” ungkapnya.

Untuk itu, Marcellina menyarankan untuk mempersiapkan diri dengan berbagai cara, mulai dari melakukan riset tentang diri sendiri, tentang bisnis dari perusahaan yang akan dilamar, hingga riset budaya perusahaan di berbagai situs. Selain itu, kandidat perlu juga untuk memahami apa yang ada di kepala rekruter. Hal inilah yang menjadi kunci untuk menebak pola pertanyaan dan membuat strategi untuk menjawabnya. Menurutnya, terdapat tiga hal yang dicari oleh rekruter. 

“Semua pertanyaan interviewer, apa pun jenis pertanyaannya, pakai gaya bertanya apa pun, itu pasti untuk menggali tiga hal: job fit, culture fit, dan organizational fit. Job fit artinya apakah kalian memiliki kecocokan dengan pekerjaan yang dibutuhkan, kebanyakan akan lebih technical experience. Cultural fit, apakah punya value, nilai-nilai, passion, dan interest yang sejalan dengan culture perusahaan tersebut. Organizational fit adalah lebih mengenai cara kerja, apakah bisa adaptasi dan sesuai dengan cara perusahaan berjalan. Misalnya perusahaan cepat dan banyak perubahan, apakah (kandidat) berpotensi mengikuti temponya atau tidak,” paparnya.

Sebagai penutup, Marcellina kembali menegaskan untuk menggunakan kesempatan bertanya yang ditawarkan oleh pewawancara dan bahwa kandidat memiliki hak untuk memberikan ‘thank you note’. “Kalo di Indonesia menurutku, hanya satu dari empat orang yang tahu bahwa mereka berhak mengirimkan ‘thank you note’ ke rekruternya. ‘Thank you note’ bisa berbentuk e-mail dan WhatsApp, intinya adalah buat sesuatu yang sifatnya personalisasi, kalian menyapa dan saying thank you. Tujuannya untuk membuat kalian diingat oleh rekruternya,” papar Marcellina.

Kognisi adalah produk turunan Growth Center, yang merupakan platform berbasis edukasi persembahan Kompas Gramedia yang dibangun pada Mei 2019. Kognisi secara periodik juga mengadakan webinar yang terbuka untuk publik. Informasi lebih lanjut mengenai webinar Kognisi selanjutnya bisa langsung mengunjungi akun Instagram @kognisikg dan situs learning.kompasgramedia.com (khusus karyawan Kompas Gramedia). Selamat belajar, Kogi Friends! Stay safe, healthy, and sane! (*)

Penulis: Aurina Indah Tiara | Editor: Sulyana Andikko | Ilustrator: Elvira Tantri