Beberapa tahun terakhir, kemampuan berpikir kritis menjadi salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh manusia setelah kemampuan memecahkan masalah.
Memangnya sepenting itu berpikir kritis atau berpikir jernih?
Ya! Hampir seluruh aspek kehidupan manusia membutuhkan pemikiran yang kritis untuk menentukan sebuah pilihan. Kita selalu dihadapkan pada pilihan, dan anugerah berpikir itulah dapat digunakan sebaik mungkin untuk mengambil sebuah keputusan tersebut.
Termasuk berpikir kritis dalam mengolah informasi. Pada tahun 2017, Dewan Pers mendata bahwa hanya ada 168 media yang terverifikasi dari 43.500 media digital di Indonesia. Mungkin tahun ini angka media yang terverifikasi meningkat, namun peningkatannya juga berbanding lurus dengan banyaknya media-media digital baru yang belum terverifikasi oleh Dewan Pers. Artinya, setiap hari kita kebanjiran informasi karena banyaknya informasi yang datang dari sana-sini. Apabila kita memakan informasi secara utuh tanpa disaring menggunakan analisis berpikir kritis, kita bisa saja menjadi penyebar informasi yang kurang tepat serta mudah dibohongi kedepannya.
Lalu, bagaimana menerapkan berpikir kritis dalam mengelola informasi ini?
Kogi punya beberapa tipsnya. Lakukanlah riset pribadi terlebih dahulu. Segera setelah kamu menerima sebuah informasi, buatlah dirimu mempertanyakan apakah informasi ini dapat dipercaya atau tidak dengan riset yang dapat kamu cari dengan berselancar di mesin pencari internet, buku yang membuat informasi terkait, atau bertanya kepada orang yang kamu anggap lebih ahli.
Kamu juga dapat melakukan observasi dan wawancara juga! Tentunya dua hal ini dilakukan untuk mendapatkan konfirmasi, klarifikasi, dan juga verifikasi.
Memangnya observasi dan wawancara itu bagaimana sih penerapannya? Apa keduanya saling berhubungan dalam berpikir kritis?
Cek penjelasan selanjutnya dari Wisnu Nugroho, Editor in Chief Kompas.com, di video berikut ini!
.png){kind=icon}
