Tatanan hidup baru yang membatasi interaksi sosial dan fisik membuat perusahaan harus semakin kreatif menjaga keberlangsungan bisnisnya. Salah satu aspek yang penting dalam saat seperti ini adalah menjaga pengalaman pelanggan (Customer Experience - CX) agar tetap positif. Customer Experience (CX) adalah filosofi dan metode yang berfokus dalam memahami pengalaman dan emosi dari pihak yang terlibat baik penyedia layanan, maupun pelanggan untuk menilai kedekatan atau interaksi secara natural. Aksesibilitas terhadap perusahaan senantiasa selalu diharapkan optimal agar dapat menjawab kebutuhan pelanggan. Namun, dengan kondisi pandemi ini tentu hal tersebut menjadi semakin sulit dan butuh strategi komprehensif agar terukur kesuksesannya.
Strategi tersebut kemudian dibahas oleh dua narasumber, yakni Regional Customer Service Manager PT Prodia Widyahusada Tbk Dina Kharina Ini dan Principal Consultant PQM Consultants Jarot Anorogo, dalam webinar Kognisi bertajuk “Prodia Customer Experience during Pandemic”. Acara yang berlangsung pada Senin, 22 Juni 2020 ini pun disambut dengan antusiasme hampir 145 peserta yang terdiri dari publik, mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara, dan karyawan Kompas Gramedia.
Fokus pada Pelanggan: Empati
Riset McKinsey baru-baru ini menunjukkan bagaimana tatanan hidup baru di pandemi ini mengubah cara organisasi beroperasi. Pertama, perusahaan wajib menunjukkan empati kepada karyawan dan pelanggan dengan menemukan ketidaknyamanan (pain point) serta berusaha menyelesaikan kesulitan-kesulitan mereka. Kesehatan dan keselamatan mereka juga tetap perlu mendapat prioritas, terlebih saat bisnis sudah mulai berjalan normal. Kedua, perlu dipikirkan strategi akan bagaimana menjangkau lebih banyak pelanggan melalui inovasi digital (misal: delivery, contactless operation) untuk membantu menciptakan rasa aman dan nyaman bagi pelanggan.
Aspek ketiga, bagaimana perusahaan dapat melakukan efisiensi biaya tanpa mengurangi kualitas pelayanan pelanggan. Jarot menjelaskan bahwa “Toko fisik misalnya, wujudnya juga akan berbeda dengan segala protokol kesehatan yang wajib diberlakukan. Bagaimana organisasi lantas melihat sudut pandang baru dalam melayani pelanggan akan krusial,” imbuhnya. Lalu, yang terakhir adalah membangun kapabilitas karyawan untuk turut memiliki sense of belonging dalam mengembangkan proses layanan yang ada. Dengan demikian, “Lambat laun efektivitas solusi yang diberikan pada pelanggan tetap baik dengan berbagai keterbatasan,” tambah Jarot.
Diferensiasi Produk melalui Pengemasan
Sejalan dengan riset McKinsey tadi, Joseph Pine and James Gilmore (2011) mengungkapkan dalam bukunya ‘The Experience Economy’ bahwa sebuah komoditas juga penting dipikirkan pengemasannya. Jarot memberikan contoh, “Misalnya kopi, seluruh indonesia punya kopi versi mereka, lambat laun jadi saturasi dan tidak terdiferensiasi. Jadi, setelah produksi, proses pengemasan hingga sampai ke tangan konsumen untuk menciptakan nilai lebih juga patut diperhatikan,” imbuhnya.
“Jika kita sudah bisa membangun kedekatan hubungan dengan pelanggan sehingga mereka merasa diutamakan, tentu saja akan membuat perbedaan atau diferensiasi dengan kompetitor. Karena kita fokus atau concern dengan pelanggan kita, kuncinya adalah berempati,” ujar Jarot. Dengan senantiasa menjaga relevansi brand melalui kedekatan hubungan dengan audiens dan pengalaman menyeluruh, target market menjadi tidak begitu sensitif terhadap harga.
Strategi Bangun Pengalaman Bermakna bagi Pelanggan
Mark Colgate, melalui bukunya The Science of Service mengemukakan bahwa kepuasan pelanggan bisa dicapai kalau produk dan layanan kita: (1) dapat diandalkan (reliable); (2) responsif terhadap keluhan; dan (3) membangun hubungan baik (relationship). Harapannya apa? Kemungkinan pelanggan tersebut merekomendasikan barang kita menjadi semakin tinggi.
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan saat menyusun strategi dalam menciptakan pelayanan pelanggan yang berkesan. Pertama, strategi dengan eksekusi yang jelas. Terutama fokus pada servis yang menjadi kekuatan brand. Kedua, metrik pengukuran; Ketiga, proses, di mana letak pengembangan proses yang masih dapat dilakukan bagi pelayanan pelanggan. Misalnya: alur pembelian, mengurangi antrean, dan lain-lain. Dan yang paling penting adalah membangun kebudayaan melayani sebagai bagian dari sehari-hari bagi karyawan dengan dukungan teknologi.
“Setelah semua dapat strategi tersusun dengan baik, baru dapat diidentifikasi blueprint aktivitas pelayanan mana yang akan diperbaiki serta analisa bagaimana kemajuan implementasinya. Tujuannya adalah menciptakan moment of truth”, ujar Jarot.