Insight Kognisi

>

Soft Competency

Soft Competency

Menjadi Individu yang Resilien terhadap Tantangan Hidup

SULYANA ANDIKKO

HR Expertise Specialist - Dipublikasikan

Setiap orang pasti mengalami berbagai kesulitan dalam hidup dengan tingkatan yang berbeda-beda. Ada yang mampu bertahan, ada pula yang gagal di tengah perjalanan. Pandemi Covid-19 saat ini merupakan contoh nyata bahwa kesulitan dapat terjadi tanpa adanya prediksi. Rentetan tantangan baru menerpa, seperti terkena pemutusan hubungan kerja, terancamnya keberlangsungan bisnis usaha, hingga penyesuaian orangtua juga anak-anak dalam melakukan pembelajaran jarak jauh. Mempersiapkan mental dan strategi beradaptasi terhadap kondisi-kondisi tersebut mutlak diperlukan untuk bertahan. Oleh karena itu, Kognisi yang merupakan bagian dari Corporate Human Resources Kompas Gramedia mengadakan webinar dengan judul “Building Personal Resilience” pada Rabu, 2 September 2020 yang lalu dengan pembicara Media Academy Manager KG Media Doan Simanullang, dihadiri hampir 40 peserta. 

 

Penekanan pada Faktor yang Dapat Dikontrol

Kemampuan mental untuk bertahan dalam tantangan atau kesulitan hidup dikenal dengan istilah resilien, yang diambil dari bahasa latin resilire yaitu meloncat kembali. Resilien membahas mengenai bagaimana individu merespons secara dinamis yang menekankan pada adaptasi positif untuk menghadapi tantangan hidup. Resilien dapat dilihat dari segi kepribadian maupun proses. Tetapi, Doan berpendapat bahwa kepribadian merupakan hal yang sulit untuk dikendalikan, sehingga definisi resilien lebih dominan terlihat sebagai suatu proses karena “lebih dapat dikontrol oleh kita sebagai individu”, ujarnya. 

Menjadi orang yang resilien dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor yang tidak dapat dikontrol dan faktor yang dapat dikontrol. Faktor yang tidak dapat dikontrol atau lingkungan antara lain memilih masalah yang ringan, selalu ingin ada yang mendukung, dan adanya panutan ketika menghadapi masalah. Sedangkan faktor yang dapat dikontrol atau faktor individual, yaitu faktor yang dapat kita kendalikan ketika dihadapkan pada suatu masalah karena berada pada diri sendiri. Misalnya, memilih ingin memperhatikan peristiwa negatif maupun positif, cara berpikir, tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi stres, dan motivasi pemilihan gaya solusi (coping) untuk menghadapi peristiwa negatif. 

 

Menilai peristiwa negatif maupun positif

Dalam hidup, terdapat peristiwa negatif maupun positif. Masing-masing peristiwa dikategorisasikan sebagai mayor (mis: promosi, lulus kuliah, PHK) dan minor (mis: olahraga, makan makanan kesukaan). “Peristiwa itu sebenarnya semuanya netral tapi kemudian kita yang mengartikan itu sebagai suatu peristiwa positif atau negatif,” ungkap Doan dalam menjelaskan Appraisal Theory. Doan memberikan sebuah contoh peristiwa menggunakan Appraisal Theory yaitu putus cinta. Peristiwa ini sering dikaitkan dengan peristiwa negatif karena dapat menimbulkan emosi negatif seperti kesedihan dan rasa bersalah.

Namun, putus cinta ini juga dapat menimbulkan emosi positif seperti kelegaan. Ketika kita berpikir negatif, maka akan menimbulkan emosi negatif; begitu pula sebaliknya ketika kita berpikir positif, emosi yang ditimbulkan pun akan menjadi positif. 

Selain itu, manusia memiliki kecenderungan untuk berpikir negatif atau dikenal dengan istilah Negativity Bias. Pikiran ini menjadikan berpikir negatif sebagai alat untuk bertahan hidup. “Sifat dasar manusia adalah kita mau selamat, untuk selamat itu maka negativity bias ini menjadi alat bagi kita untuk terhindar dari ancaman,” papar Doan. Dengan demikian, berpikir negatif dapat menjadi buruk apabila penilaian kita terhadap suatu peristiwa tidak tepat, karena bisa saja dibalik ancaman justru terdapat suatu peluang. 

 

Individu Resilien: Pengelolaan Emosi

Pribadi yang resilien juga adalah individu yang mampu mengelola emosi. Ketika merasakan emosi negatif seperti kecemasan ataupun ketakutan, tidak hanya kesehatan fisik yang terpengaruh, tapi juga mental seperti merasa tertekan, depresi, dan tidak berdaya. Lebih jauh lagi, emosi negatif juga dapat memengaruhi hubungan interpersonal individu. Oleh karena itu, pengelolaan emosi secara efektif dapat memberikan banyak manfaat terutama pada kesehatan mental.

Selain pengelolaan emosi, orang yang resilien dalam menghadapi negativity bias menggunakan strategi coping. Coping adalah tindakan solutif untuk mengatasi stres. Orang yang resilien menggunakan strategi coping untuk menimbulkan emosi positif. Doan menutup kelas dengan berpesan bahwa strategi coping seperti, “belajar bersyukur terhadap hal-hal sederhana di sekitar kita, berbagi dengan orang lain yang dapat meningkatkan emosi positif; tersenyum, menyemangati diri sendiri ketika mengerjakan suatu pekerjaan, dan mengingat peristiwa positif akan membantu individu menjadi lebih resilien,” ujarnya.

Kognisi adalah platform berbasis edukasi persembahan Kompas Gramedia yang dibangun pada Mei 2019. Kognisi secara periodik juga mengadakan webinar yang terbuka untuk publik. Informasi lebih lanjut mengenai webinar Kognisi selanjutnya bisa langsung mengunjungi akun Instagram @kognisikg dan situs learning.kompasgramedia.com (khusus karyawan Kompas Gramedia). Selamat belajar, Kogifriends! Stay safe, healthy, and sane!

 

Penulis: Riska Krisnovita | Editor: Sulyana Andikko | Ilustrasi: Ericha Surya