Info KG

>

dari Kita untuk Kita

dari Kita untuk Kita

Pribadi yang Kuat di Tengah Krisis

DOAN ADIKARA PUDAN SIMANULLANG

Rep. - Media Academy Manager GoMED - Dipublikasikan

Krisis akan selalu ada dalam hidup manusia, juga dalam dunia usaha. Definisi krisis adalah situasi yang disertai ancaman bahaya. Krisis dapat menyebabkan kerugian dan kehancuran jika tidak dikelola dengan benar. Mereka yang dapat mengelola krisis dengan benar akan dapat mengatasi krisis dan memanfaatkan peluang-peluang baru.

Saat ini seluruh masyarakat dunia sedang menghadapi krisis yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Kita menjadi cemas, khawatir, dan mengalami ketidakstabilan. Dalam situasi krisis, kita harus terus berupaya untuk sadar karena kondisi mental yang terganggu saat menghadapi krisis akan menghambat penanganan krisis.

Menjaga pikiran kita tetap sadar tentu tidak mudah. Kita tentu ingat saat pandemi Covid-19 pertama masuk ke Indonesia, banyak orang panik dan mulai memborong sembako serta hand sanitizer. Ketika berhadapan dengan krisis, pikiran manusia cenderung terobsesi dengan rasa takut dan ketidakberdayaan. Bila terperangkap dalam pola pikir demikian, kita akan sulit melihat permasalahan secara jernih. Ketakutan akan membuat kita sulit melihat gambaran besar dan melihat solusi atau peluang yang ada di depan kita.

Budha pernah berkata, ”Jika seseorang terkena panah, apakah terasa sakit? Jika orang itu terkena panah kedua kalinya, apakah akan terasa lebih sakit?” Apa arti perkataan Budha ini? Budha menjelaskan bahwa dalam hidup kita tidak bisa mengontrol panah yang pertama, tetapi panah kedua adalah bagaimana kita merespons terhadap panah pertama. Bersama panah kedua ini muncul pula berbagai kemungkinan pilihan. Krisis adalah panah pertama. Panah kedua adalah bagaimana kita secara emosi dan psikologis merespons krisis. Respons emosi dan psikologis kitalah yang kadang membuat kita tidak bisa berpikir jernih, membuat sudut pandang kita sempit sehingga tidak bisa melihat solusi yang kita butuhkan.

Cara mengatasi hambatan emosional dan psikologis tersebut adalah dengan mengembangkan ketahanan mental (mental resilience) melalui mindfulness. Mindulness dalam kondisi krisis berarti mengelola pikiran agar dapat meningkatkan kemampuan kita menghadapi “panah pertama” dan menghancurkan “panah kedua” sebelum sempat mengenai diri kita.

Resilience adalah keahlian mengenali pikiran kita sendiri, melepaskan diri dari cara berpikir destruktif, dan dengan cepat membuat keseimbangan dalam cara kita berpikir. Resilience dapat dilatih dan dikembangkan, berikut adalah tiga caranya:

1. Menenangkan pikiran

Pikiran yang tenang membantu kita mengamati sekitar dengan apa adanya. Kita juga dapat mengamati apa yang terjadi di dalam pikiran kita dan apa yang sedang kita pikirkan. Kita dapat memilih pikiran apa yang ingin kita pertahankan dan pikiran apa yang kita abaikan. Stres dan rasa khawatir juga dapat berkurang jika pikiran kita tenang. Terus berlatih menenangkan pikiran akan dapat menguatkan mental kita. Melatih pikiran untuk tenang dapat dilakukan dengan mengarahkan pikiran kita untuk fokus pada saat ini.

2. Melihat keluar

Keputusasaan dan ketakutan membuat kita panik. Setiap kali merasa panik, cobalah berhenti melakukan apa pun dan mulailah melakukan refleksi. Coba melihat perspektif lain dengan keluar dari “diri” kita, seperti membuka jendela yang mungkin selama ini tertutup.

3. Belas kasih

Dalam kondisi krisis, kita sangat mudah menyalahkan orang lain dan menghindari orang yang tidak kita suka. Belas kasih membuat kita tetap terhubung dengan orang lain. Belas kasih adalah niat memberikan manfaat kepada orang lain, yang dimulai dari pikiran kita. Belas kasih dapat dimulai dengan bertanya: Bagaimana saya dapat membantu orang lain agar harinya lebih menyenangkan?

Krisis bisa saja terjadi dalam hidup kita. Kita tidak perlu panik dan saling menyalahkan. Mulailah mengelola pikiran agar dapat menghadapi panah pertama dan menghancurkan panah kedua sebelum mengenai diri kita.

 

Sumber: "Build Your Resilience in The Face of a Crisis" oleh Rasmus Hougaard, Jacqueline Carter, dan Moses Mohan dalam Harvard Business Review, Maret 2020.

Follow Instagram @kgmediaacademy untuk membaca artikel-artikel menarik lainnya